Dikedalaman hutan yang
paling gelap, seekor Naga Api sedang duduk menyendiri. Ia bersandar di
sebuah batu besar. Badannya kurus, matanya sayu, tubuhnya berwarna merah
pucat, dan perutnya buncit sebesar gunung. Dia sedang tidak sehat,
perutnya yang buncit terasa sangat sakit. Beberapa hari yang lalu, ia
telah menelan sebuah rembulan. Oleh karena itulah perutnya kini terasa
sangat sakit.
Sang naga api terus saja merintih. Bukan hanya
karena rasa sakit diperutnya, tapi karena ia merasa sangat sedih dan
bersalah karena telah menelan rembulan. Akibat pilihannya itu, kini Peri
Hujan mati dan Lembah Hujan menjadi kering kerontang tak berjiwa. Tak
ada kehidupan di sana, yang ada hanyalah kesedihan.
Kini
rintihannya semakin kencang berubah menjadi raungan yang memekikkan
telinga. Raungan kesedihan yang dalam. Suaranya terdengar sangat pilu
dan nyeri. Siapa pun yang mendengarnya pasti akan merasakan sebuah
kesedihan yang dalam.
Ia kemudian menangis meraung-raung. Dari
sudut matanya keluar bulatan-bulatan kecil air mata. Bulatan-bulatan
kecil itu semakin lama semakin membesar membentuk bulatan penuh.
Ternyata, bulir-bulir air mata Sang Naga Api berubah menjadi rembulan.
Naga Api sangat
terkejut sekaligus senang. Sakit perutnya kini sudah hilang, dan yang
membuatnya sangat senang adalah rembulan kini kembali bersinar terang.
“Mungkinkah masih ada harapan untuk membuat Peri Hujan hidup kembali??”, pikirnya.
Sang
Naga Api kemudian bergegas pergi menuju Lembah Hujan. Namun tiba-tiba
ia dihadang oleh pemimpin kawanan Naga Api. Naga Api itu bermata bulat
nyala terang dan menatap tajam padanya. “Mau pergi kemana kau??!! Kau
tidak boleh meninggalkan Lembah Api ini”, kata pemimpin kawanan Naga Api
dengan garangnya.
“Aku ingin ke Lembah Hujan, aku ingin
menyelamatkan Peri Hujan. Mungkin saja masih ada kesempatan”, kata Naga
Api kepada pemimpinya.
“Tidaaak boleeeh...!! kau tidak boleh
kemana-mana...kau harus tetap berada di Lembah Api ini..!!”, kata
pemimpin kawanan naga api dan semakin galak nada suaranya.
Tapi
Naga Api tidak peduli, ia berusaha meloloskan diri dari hadangan
pemimpinnya itu. Setiap kali Naga Api ingin menerobos keluar,
pemimpinnya tersebut menghempaskan sayapnya ke Naga Api dan kemudian
menyemburkan api yang sangat panas sekali. Sang Naga Api berjuang keras
agar dapat keluar dari lembah itu. Walaupun berkali-kali ia terjerembab
jatuh dan terkena semburan api. Ia mendekap rembulan di dadanya dengan
erat. Ia tak ingin rembulan itu menjadi hancur, karena rembulan itu
adalah harapannya untuk menyelamatkan Peri Hujan.
Sang Naga Api
benar-benar sudah babak belur. Sayapnya compang camping terkoyak cakar
tajam sang pemimpin. Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia tetap berusaha
untuk bangkit dan terbang menerobos hadangan pemimpinnya. Sang pemimpin
pun luluh, ia terkesima melihat begitu kerasnya tekad dan gigihnya
perjuangan Sang Naga Api untuk menyelamatkan Peri Hujan. Akhirnya,
pemimpin kawanan Naga Api itu menyerah, ia mengizinkan Naga Api untuk
pergi ke Lembah Hujan menyelamatkan Peri Hujan.
Dengan sisa
tenaga yang ia punya, Naga Api berusaha terbang secepatnya menuju Lembah
Hujan. Ia tak mau menyia-nyiakan sedetik waktunya pun untuk
menyelamatkan Peri Hujan. Sesampai di Lembah Hujan, Naga Api begitu
sedih melihat suasana di sana. Lembah yang tadinya indah penuh warna
kini bagai lembah kematian tak bernyawa, tak ada kehidupan di sana.
Begitu sunyi dan kosong yang ganjil.
Di tengah hamparan bunga
Lili yang telah layu, Peri Hujan terbaring menjadi batu dengan belukar
yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Naga Api sangat sedih melihatnya.
Ia kembali menangis, tetesan air matanya perlahan jatuh membasahi wajah
Peri Hujan. Dan seketika itu juga, perlahan-lahan tubuh Peri Hujan
berubah menjadi seperti sedia kala. Tetapi masih tak bernyawa.
Naga
Api segera menggantung rembulan di langit Lembah Hujan. Seketika Lembah
Hujan itu menjadi terang benderang. Angin mulai bertiup, membangunkan
bunga-bunga yang telah layu. Suara gemericik air mulai terdengar. Cahaya
rembulan itu menyelimuti seluruh tubuh Peri Hujan. Dan akhirnya
perlahan, Peri Hujan membuka matanya dan tersenyum menatap Naga Api.
“Terima kasih”, kata Peri Hujan.
Naga Api hanya menatap Peri Hujan dalam-dalam dan kemudian berkata, “Maafkan aku..”.
Mereka hanyut dalam diam. Suasana hening yang aneh dan sunyi.
“Aku harus pergi”, kata Naga Api memecah keheningan.
“Aku tau”, jawab Peri Hujan.
Sang
Naga Api segera melesat ke langit tanpa menoleh lagi. Pada waktu itu
hujan turun dengan derasnya di Lembah Hujan. Seakan tak mau mereda.
Begitu pun di Lembah Api, langit berwarna merah menyala, udaranya sangat
panas seakan ada amarah yang tertahan.
Barangkali mereka masih
belum mengerti, bahwa kadang hidup memberikan kita pilihan-pilihan yang
membingungkan. Dan ketika mereka tersadar, mereka telah berada di lorong
waktu yang mampat. Mereka terjebak di dalam ruang pengap dikedalaman
benaknya sendiri. Menghela nafas yang tinggal sepenggal, dan tetap
berusaha tersadar. Bahwa betapapun riuh keinginan mereka berontak, tapi
mereka harus tetap berjalan..meniti garis takdirnya sendiri..sendiri.
Peri Hujan
Kelak, jika kau rasakan angin berhembus dengan aroma bumi yang segar...maka, disanalah aku.. Menatapmu dikejauhan...
Naga Api
Kelak, jika langitmu kemerah-merahan dan udara terasa hangat...maka, disanalah aku.. Menatapmu dikejauhan....
Semoga suatu hari nanti kita dipertemukan kembali dalam kondisi yang lebih baik...
*Sumber gambar: http://www.lisavictoria.net/Images/Fantasy/Full/DragonHug.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar